Jakarta, CNNIndonesia —
Hujan baru saja reda ketika tercium bau pedas dari depo Pertamina Plumpang di Jakarta Utara, Jumat (3/3) siang. Penduduk yang tinggal di dekatnya Depo Pertamina juga berlari keluar dari rumah mereka.
Kenangan buruk tahun 2009 masih melekat di kepala mereka. Saat itu, tangki minyak di depo Pertamina Plumpang terbakar akibat gesekan antara slot pengukur dan alat pengambilan sampel bahan bakar minyak (BBM).
Trauma dengan kejadian itu, warga berlarian keluar rumah. Tak lama kemudian, dua ledakan terdengar.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Api mulai menjalar ke kawasan padat penduduk di lokasi yang dikenal warga sebagai “tanah merah”. Langit malam terang benderang saat api terus melahap kawasan pemukiman padat penduduk.
Warga berkerumun mencari tempat berlindung di gang-gang sempit. Ada yang berteriak, ada yang menangis. Tak sedikit warga yang terjatuh saat menuju tempat aman.
Sebanyak 52 unit mobil pemadam dikerahkan, namun jalur yang sempit membuat api sulit dipadamkan. Api merah berhasil dipadamkan petugas pemadam kebakaran pada Sabtu (4/3) sekitar pukul 02.19 WIB. Namun, beberapa rumah warga hangus terbakar.
“Keributan. Mereka bercermin tahun 2009, panik. Saat itu mesin pompa bisa masuk, agak susah. Pemadam kebakaran harus keluar masuk bergantian,” kata Bendahara RW 2 Rawa Badak Selatan. Mulyadi saat ditemui CNNIndonesia.com, Sabtu (4/3).
Mulyadi mengatakan, perumahan padat penduduk yang dekat dengan depo membuat api lebih mudah menyebar. Dia memperkirakan ada ratusan kepala keluarga yang tinggal di sekitar depo.
Pria yang tinggal di Rawa Badak Selatan sejak 1982 itu menuturkan, awalnya tanah merah itu tidak berpenghuni. Tidak ada satu rumah pun yang berdiri. Tanah tersebut dijaga oleh TNI dan Polri karena merupakan aset nasional.
Di awal reformasi, warga dari luar daerah mulai berdatangan. Mereka mulai menandai tanah setelah pasukan keamanan tidak lagi mengontrolnya dengan ketat. Sedikit demi sedikit rumah dibangun.
Warga tinggal di tanah merah dekat depo Pertamina secara ilegal pada awal 2000-an. Mereka baru mendapat legitimasi dari negara setelah Joko Widodo menjadi gubernur.
“Tinggal status kewarganegaraan, KTP. Jokowi serahkan ke gubernur mereka yang sekarang. Dulu mereka disebut penghuni liar, warga liar, warga tanah merah,” ujarnya.
Setelah kebijakan itu, pengakuan negara terus berkembang. Pemerintah setempat membentuk unit komunitas khusus untuk warga Tanah Merah. Kini, mereka tercatat sebagai warga RW 9 dan RW 8 Rawa Badak Selatan.
Tak berhenti di situ, warga Tanah Merah mendapat izin mendirikan bangunan (IMB) pada era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sebagian warga tidak memiliki sertifikat tanah, namun diperbolehkan mendirikan bangunan.
“Pak Anies juga mengesahkan izin mendirikan bangunan, IMB. Semua bangunan kita ukur. Jadi dengan akad Anies semuanya rapi,” ujar warga RW 9 Rawa Badak Selatan Deden Mustafa saat ditemui CNNIndonesia.com, Sabtu (4/3). ). ).
Deden mengatakan, warga yang mendapat IMB bisa membangun gedung asal membayar iuran. Misalnya, dia membayar Rp200.000 setahun untuk bangunan berukuran 6 meter x 16 meter.
Namun, dia mengaku belum mengetahui nasib perumahan warga Tanah Merah setelah Anies mundur. Ia mengaku masih menunggu penjelasan dari pemerintah setempat.
Bertahan hidup di zona bahaya
Deden sudah tiga kali mengalami kebakaran hebat sejak tinggal di Tanah Merah pada 1996. Kebakaran pertama berawal dari sebuah rumah yang terbakar.
Kemudian terjadi kebakaran pada tahun 2009 yang disebabkan oleh tangki Pertamina. Ketiga, kebakaran kemarin.
Meski tahu tanah merah berbahaya, Deden memilih tinggal bersama keluarganya. Dia bilang dia sudah punya pekerjaan di sana. Selain itu, ada legitimasi dari pemerintah melalui IMB.
“Sayangnya kami takut, nama kami terselamatkan. Pak Anies juga mengeluarkan izin mendirikan bangunan,” katanya.
Deden melanjutkan, “Sudah tiga tahun, posisi Anies sudah berakhir, apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Sementara itu, Mulyadi juga menyampaikan keinginannya untuk tinggal di dekat depo Pertamina Plumpang. Katanya, tanah di RW 2 sudah resmi karena sudah pasti. Selain itu, ia mengaku sulit mencari rumah di Jakarta.
Mulyadi menilai, zona bahaya sebenarnya ada di RW 9, RW 8, dan RW 1. Belum lagi, banyak perumahan di lokasi tersebut yang tidak memiliki sertifikat.
Warga asli Rawa Badak Selatan ini pernah mengusulkan kepada kepala desa untuk merelokasi warga Tanah Merah karena terancam bahaya. Namun, pemerintah daerah justru terus memfasilitasi.
“Saya sudah bicara dengan kepala desa, tapi kenapa disederhanakan? Disederhanakan. Tidak ada gunanya bicara,” katanya.
Sinyal transfer pemerintah
BACA HALAMAN BERIKUTNYA