Bertahun-tahun yang lalu, polisi dianggap remeh. Itu dianggap musik pinggiran identik dengan kata “mabuk” atau “mabuk”.
Tapi sekarang polisi merias wajah, berdandan, dan pergi ke kelas. Dikemas dengan apik dan merambah berbagai sudut ruang sosial, khususnya di Pulau Jawa. Musiknya yang lincah dan irama gendang menjadi “pelumas” bagi mereka yang ingin mengendurkan sarafnya saat bergoyang. Atau, hanya dinikmati oleh tamu undangan pada saat hajatan.
Misalnya di Indramayu. Pada Rabu Desember tahun lalu, CNN Indonesia mengikuti penampilan penyanyi Githa Gusmania di Kab. Ia tampil di acara khitanan.
Sembari duduk, para tamu undangan berpakaian rapi, kebaya warna-warni dan sandal hak tinggi sambil menggoyangkan bahu kurusnya menikmati alunan lagu Koplo yang dinyanyikan Githa. Satu dua penonton bergoyang ke arahnya, sambil menyiapkan saweran.
Baju ketat dan rok mini adalah pakaian panggung Githa. Gerakan genit saat bernyanyi membuat penampilannya semakin energik. Tujuannya tentu saja untuk menarik lebih banyak penonton dan penonton. Karena mereka bekerja dalam kelompok, semakin banyak sawaran, semakin banyak pendapatan yang mereka peroleh.
Sayangnya, penonton yang menawarkan tawar-menawar seringkali mencuri kesempatan tanpa malu-malu. Seolah-olah mereka memiliki rasa memiliki karena telah diberi saweran. Sapuan ringan, pelukan dan ciuman tiba-tiba seringkali harus ditepis oleh penyanyi wanita seperti Githa. Bahkan di festival.