Bungo –
Suku Anak Dalam (SAD) dikenal sebagai suku yang menolak menerima budaya luar termasuk sekolah. Akibatnya, mereka sering ditipu.
Kehidupan sebagai Suku Anak Dalam penuh dengan tantangan di era modern ini. Kerusakan hutan dan lahan menyusut, membuat mereka kehilangan tempat tinggal. Apalagi hasil hutan yang semakin menipis membuat mereka sulit mencari nafkah dengan menjual hasil hutan tersebut.
Dengan sedikit hasil, SAD sering ditipu oleh tengkulak. SAD adalah sasaran empuk penipuan karena mereka tidak bisa membaca, menulis, dan menghitung. Hal tersebut disampaikan fasilitator lapangan Pundi Sumatera, Yori Sandi kepada detikTravel saat berkunjung ke Desa SAD di Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
“Sekolah adalah budaya asing bagi mereka. Sehingga sebagian besar SAD sulit menerimanya. Sekolah dianggap sebagai budaya non-pribumi. Dulu (sekolah) tidak boleh,” ujar Yori.
Selama kurang lebih 5 tahun terakhir, Pundi Sumatra telah bekerja untuk membantu memberdayakan SAD. Mereka memperkenalkan pentingnya sekolah bagi anak-anak SAD.
“Kami sampaikan alasannya, zaman sudah berubah, kalau kita tidak pandai membaca dan menulis, kita akan terus ditipu,” ujarnya.
“Misalnya tengkulak pergi, bawa hasil hutan, jual, kadang disepelekan karena tidak bisa baca tulis,” lanjutnya.
Setelah SAD mengenal sekolah tersebut, kehidupan mereka membaik. Mereka dapat melakukan aktivitas perdagangan dengan lebih baik.
“Sekarang sudah berubah. Dibandingkan dengan anak-anak di desa sekitar, mereka lebih baik di sini. Mulai dari ditipu, ditekankan bisa berhitung dari rumah,” kata Aziimi.
Kini, semua anak di Desa Kelukup sudah bersekolah. Bahkan ada seorang gadis suku Anak Dalam yang kuliah di Jambi.
Simak Video “Menteri Hadi Selesaikan Sengketa Tanah Anak Domestik Usia Sepuluh Tahun”
[Gambas:Video 20detik]
(pin/wsw)